Sabtu, 18 Juni 2016

Subuuh ini setellah aku menghabiskan makan sahurku, pikir ku menerawang, mata ku menyisihkan ngantuk dan hati ku tergerak untuk menulis ini. Ini tentang sedikit keresahan ku tentang apa yang terjadi kemarin, tentang buka bersama yang diadakan oleh perusahaan besar di kotaku. Kebetulan saat ini aku sedang menjalani proses magang di perusahaan tersebut dan kemarin acara buka bersama pertama yang aku datangi untuk pertama kalinya dibulan ramadhan tahun ini. Mungkin seperti tahun tahun sebelumnya kami anak magang ditugaskan untuk menjadi panitia dalam acara tersebut seperti yang di instruksikan kordinator kami dihari sebelumnya. Kami disuruh datang pukul 16.00 WIB.
Sore itu aku datang telat bersama temanku, setelahnya kami berkumpul di ruang loby simbari menunggu kami bercanda hangat membuat aku yang tadinya kurang bersemangat menjadi bersemangat. Taklama dari itu teman ku memanggilku untuk mempersiapkan segala keperluan untuk acara yang akan berlangsung sebentar lagi dari membawa parcel-parcel untuk anak-anak dari panti asuhan hingga membawa makanan-makanan untuk berbuka bagi para tamu yang datang.

Acara pun dimulai aku duduk bersama teman-temanku yang lain. Aku melihat sekitar ku banyak mereka yang mengabadikan momen tersebut dengan berpoto bersama termasuk teman-temanku. Seiring dengan berjalannya acara dengan banyak kata sambutan hingga kultum yang disampaikan ustadz yang kutak tahu namanya dan tak begitu paham apa yang disampaikan dari kultum tersebut karena masih sibuk mempersiapkan pernak pernik tentang konsumsi. Aku yang bergumam dalam hati karena tak dapat menikmati acara ini dengan hikmat. Saat aku membagikan percel kepada anak-anak panti asuhan ada rasa aneh, rasanya logika ku seperti menokok hatiku. Logika ku seperti mengirim suatu sinyal kehati agar merasakan apa yang aku lihat ini, terkadang logika memng dapat membutakan hati, tapi kali ini sebaliknya. yaaa yang aku lihat adalah para anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan, lalu kenapa ??? kenapa hati ku tak merasakan bahwa aku adalah manusia yang lebih beruntung dari mereka?

Mengapa hatiku tak merasa bersyukur telah diberikan keluarga yang lengkap di rumah yang saat ini aku tinggalai dengan rasa tentram dan damai???!

Apa hati ini beku ?
Apa hikmah ku berpuasa, jika mata dan hati ini tak bisa merasakan syukur saat melihat contoh yang nyata di hadapanku tentang kehidupan lain seseorang yang harusnya menjadikan ku merasa disayangi oleh penciptaNya.
Tuhan apa hati ini  kotor ?

Apa karena aku tak dapat menikmati sepenuhnya acara itu karena kesibukan yang sedikit melelahkan pikiranAghhh pikirku mulai menyalahkan keadaan
Hingga akhirnya aku merenungkan segalanya aku mengucap syukur kepadaNya seraya memandangi bulan yang buram tanpa ditemani bintang-bintang yang berkilauan. Pikirku mungkin akan terjadi hujan karena langit tak berbintang dan aku memohon kelak suatu hari biarkan aku menjadi bintang sebagai pertanda bahwa hujan tak akan datang dan akan tetap menyinari bumi dibawah kehangatan rembulan. Maksud ku kelak aku ingin juga membuat acara seperti ini agar aku dapat membantu mereka, mereka yang dapat membuat orang lain merasakan syukur kepada Allah.


Tuhan, Maaf, hatiku masih kotor
Takwaku sering longsor
Imanku sering pengkor
Syukurku sering ngeloyor
Ikhlasku masih bocor
Jiwaku masih kopyor
Angkuhku masih bongsor
Kalo doa kayak orator
Padahal ibadah jarang setor
Menilai sesama kayak auditor
Sedangkan diri sendiri tidak pernah dimonitor
Dalam kebajikan menjadi pengekor
Dalam kejelekan jadi pelopor
Maafin Tuhan, ternyata kami masih kotor
(Sumber : Rif’an, Ahmad Rifa’i. 2012. Hidup Sekali, Berarti, lalu Mati, Jakarta : Elex Media Komputindo.)