Subuuh ini setellah aku
menghabiskan makan sahurku, pikir ku menerawang, mata ku menyisihkan ngantuk dan
hati ku tergerak untuk menulis ini. Ini tentang sedikit keresahan ku tentang
apa yang terjadi kemarin, tentang buka bersama yang diadakan oleh perusahaan
besar di kotaku. Kebetulan saat ini aku sedang menjalani proses magang di
perusahaan tersebut dan kemarin acara buka bersama pertama yang aku datangi
untuk pertama kalinya dibulan ramadhan tahun ini. Mungkin seperti tahun tahun
sebelumnya kami anak magang ditugaskan untuk menjadi panitia dalam acara tersebut
seperti yang di instruksikan kordinator kami dihari sebelumnya. Kami disuruh
datang pukul 16.00 WIB.
Sore itu aku datang
telat bersama temanku, setelahnya kami berkumpul di ruang loby simbari menunggu
kami bercanda hangat membuat aku yang tadinya kurang bersemangat menjadi
bersemangat. Taklama dari itu teman ku memanggilku untuk mempersiapkan segala
keperluan untuk acara yang akan berlangsung sebentar lagi dari membawa
parcel-parcel untuk anak-anak dari panti asuhan hingga membawa makanan-makanan
untuk berbuka bagi para tamu yang datang.
Acara pun dimulai aku
duduk bersama teman-temanku yang lain. Aku melihat sekitar ku banyak mereka
yang mengabadikan momen tersebut dengan berpoto bersama termasuk teman-temanku.
Seiring dengan berjalannya acara dengan banyak kata sambutan hingga kultum yang
disampaikan ustadz yang kutak tahu namanya dan tak begitu paham apa yang disampaikan
dari kultum tersebut karena masih sibuk mempersiapkan pernak pernik tentang
konsumsi. Aku yang bergumam dalam hati karena tak dapat menikmati acara ini dengan
hikmat. Saat aku membagikan percel kepada anak-anak panti asuhan ada rasa aneh,
rasanya logika ku seperti menokok hatiku. Logika ku seperti mengirim suatu
sinyal kehati agar merasakan apa yang aku lihat ini, terkadang logika memng dapat membutakan hati, tapi kali ini sebaliknya. yaaa yang aku lihat adalah
para anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan, lalu kenapa ??? kenapa hati ku tak merasakan bahwa aku
adalah manusia yang lebih beruntung dari mereka?
Mengapa hatiku tak
merasa bersyukur telah diberikan keluarga yang lengkap di rumah yang saat ini
aku tinggalai dengan rasa tentram dan damai???!
Apa hati ini beku ?
Apa hikmah ku berpuasa,
jika mata dan hati ini tak bisa merasakan syukur saat melihat contoh yang nyata
di hadapanku tentang kehidupan lain seseorang yang harusnya menjadikan ku merasa
disayangi oleh penciptaNya.
Tuhan apa hati ini kotor ?
Apa karena aku tak
dapat menikmati sepenuhnya acara itu karena kesibukan yang sedikit melelahkan
pikiranAghhh pikirku mulai
menyalahkan keadaan
Hingga akhirnya aku
merenungkan segalanya aku mengucap syukur kepadaNya seraya memandangi bulan
yang buram tanpa ditemani bintang-bintang yang berkilauan. Pikirku mungkin akan
terjadi hujan karena langit tak berbintang dan aku memohon kelak suatu hari
biarkan aku menjadi bintang sebagai pertanda bahwa hujan tak akan datang dan akan
tetap menyinari bumi dibawah kehangatan rembulan. Maksud ku kelak aku ingin
juga membuat acara seperti ini agar aku dapat membantu mereka, mereka yang
dapat membuat orang lain merasakan syukur kepada Allah.
Tuhan, Maaf, hatiku masih kotor
Takwaku sering longsor
Imanku sering pengkor
Syukurku sering ngeloyor
Ikhlasku masih bocor
Jiwaku masih kopyor
Angkuhku masih bongsor
Kalo doa kayak orator
Padahal ibadah jarang setor
Menilai sesama kayak auditor
Sedangkan diri sendiri tidak pernah dimonitor
Dalam kebajikan menjadi pengekor
Dalam kejelekan jadi pelopor
Maafin Tuhan, ternyata kami masih kotor
Takwaku sering longsor
Imanku sering pengkor
Syukurku sering ngeloyor
Ikhlasku masih bocor
Jiwaku masih kopyor
Angkuhku masih bongsor
Kalo doa kayak orator
Padahal ibadah jarang setor
Menilai sesama kayak auditor
Sedangkan diri sendiri tidak pernah dimonitor
Dalam kebajikan menjadi pengekor
Dalam kejelekan jadi pelopor
Maafin Tuhan, ternyata kami masih kotor
(Sumber : Rif’an, Ahmad Rifa’i. 2012. Hidup Sekali, Berarti, lalu Mati,
Jakarta : Elex Media Komputindo.)